Suku Banjar di berbagai daerah
Kalimantan Timur
Suku Banjar di Kalimantan Timur (sering disebut juga suku Melayu), merupakan 15 % dari populasi penduduk. Suku Banjar terdapat seluruh kabupaten dan kota di Kaltim. Suku Banjar Kaltim lebih banyak populasinya dibandingkan suku Kutai, maupun suku Dayak setempat. Beberapa kecamatan yang terdapat banyak suku Banjarnya misalnya Kecamatan Kenohan dan Jempang, Samarinda Barat, Samarinda Timur (Samarinda), Balikpapan, Tarakan dan di muara sungai Kelay, Berau. Suku Banjar merupakan 4,5% dari populasi Kabupaten Kutai Barat.[31]
Menurut sensus 1930, suku Banjar terdapat di Kota Balikpapan (31,56%),
Kota Samarinda (54,93%), wilayah Kutai bagian Timur tidak termasuk Kota
Samarinda (33,09%), Kota Tanjung Selor (35,70%).[30][19]
Migrasi suku Banjar (Batang Banyu) ke Kalimantan Timur terjadi tahun 1565, yaitu orang-orang Amuntai yang dipimpin Aria Manau (ayah Puteri Petung) dari Kerajaan Kuripan (versi lainnya dari Kerajaan Bagalong di Kelua, Tabalong) yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Sadurangas di daerah Paser, selanjutnya suku Banjar juga tersebar di daerah lainnya di Kalimantan Timur. Organisasi Suku Banjar di Kalimantan Timur adalah Kerukunan Bubuhan Banjar-Kalimantan Timur (KBB-KT).
Kalimantan Tengah
Suku Banjar di Kalimantan Tengah sering pula disebut Banjar-Melayu Pantai atau Banjar-Dayak, maksudnya suku Banjar yang terdapat di daerah Dayak Besar
yaitu nama lama Kalimantan Tengah. Menurut sensus tahun 2000, Suku
Banjar merupakan 24,20 % dari populasi penduduk dan sebagai suku
terbanyak di Kalteng.[32]
Tahun 2000 (sebelum pemekran daerah), suku Banjar terdapat di Kabupaten
Kapuas (40,5%), Palangkaraya (27,64%), Kotawaringin Timur (20,3%),
Kotawaringin Barat (16,02%), Barito Selatan (10,5%) dan Barito Utara
(2,56%).
Komposisi etnis di Kalteng berdasarkan sensus tahun 2000 terdiri suku Banjar (24,20%), Jawa (18,06%), Ngaju (18,02%), Dayak Sampit (9,57%), Bakumpai (7,51%), Madura (3,46%), Katingan (3,34%), Maanyan
(2,80%) dan tidak diketahui besar jumlah suku Melayu. Tetapi jika
digabungkan suku Dayak (Ngaju, Sampit, Maanyan, Bakumpai) mencapai
37,90%. Menurut sensus tahun 1930 penduduk Central Borneo (Kalteng dan
sebagian Kalbar) berjumlah 619.402 terdiri suku Dayak (63,49%), suku
Melayu (26,64%), suku Banjar (5,95%), suku Jawa (2,51%), Bugis (1,09%)
dan sisanya suku lainnya yang tidak disebutkan.[32][33]
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa suku Banjar yang ada
sekarang di Kalimantan Tengah merupakan asimilasi suku Banjar dengan
suku Melayu (Kotawaringin) yang menempati pesisir barat Kalimantan
Tengah. Suku Banjar terutama menempati pesisir timur Kalimantan Tengah,
misalnya menurut sensus 1930, penduduk Kota Kuala Kapuas 50,28% merupakan suku Banjar.[19]
Prosentase suku Banjar dan Melayu mengalami penurunan yang disebabkan
karena peningkatan prosentase suku lain seperti suku Jawa dan Madura
melalui migrasi. [32]
Pada tahun 1930, di Kalimantan Selatan juga terdapat 2.765 jiwa suku
Melayu yaitu di Banjarmasin 1.512 jiwa dan kota Tanjung 1.253 jiwa. Suku
Melayu tersebut diduga juga telah melebur ke dalam suku Banjar.
Perkampungan suku Banjar Kalteng terutama terdapat daerah kuala dari sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur dan sungai Seruyan di Kabupaten Seruyan, misalnya desa Tanjung Rangas dan Pematang Panjang.
Migrasi suku Banjar (Banjar Kuala) ke Kalimantan Tengah terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Banjar IV yaitu Raja Maruhum atau Sultan Musta'inbillah (1650-1672), yang telah mengizinkan berdirinya Kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang pertama Pangeran Dipati Anta-Kasuma.
Suku Banjar yang datang dari lembah sungai Negara (wilayah Batang Banyu) terutama orang Negara (urang Nagara) yang datang dari Kota Negara (bekas ibukota Kerajaan Negara Daha) telah cukup lama mendiami wilayah Kahayan Kuala, Pulang Pisau, yang kemudian disusul orang Kelua (Urang Kalua) dari Tabalong dan orang Hulu Sungai lainnya mendiami daerah yang telah dirintis oleh orang Negara. Puak-puak suku Banjar ini akhirnya melakukan perkawinan campur dengan suku Dayak Ngaju setempat dan mengembangkan agama Islam di daerah tersebut.
Sedangkan migrasi suku Banjar ke wilayah Barito, Kalimantan Tengah terutama pada masa perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda sekitar tahun 1860-an. Suku-suku Dayak di wilayah Barito mengangkat Pangeran Antasari (Gusti Inu Kartapati) sebagai raja dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin berkedudukan di Puruk Cahu (Murung Raya), setelah mangkat beliau perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Seman.
Jawa Tengah
Menurut Serat Maha Parwa, penduduk Jawa berasal dari Hindustan dan Siam yang sebelumnya singgah di Nusa Kencana (Kalimantan).[34] Di daratan kota Rembang telah ditemukan bangkai perahu kuno terbuat dari kayu ulin diduga berasal dari Kalimantan Selatan.[35]Berdasarkan Hikayat Banjar (1663) dapat diketahui bahwa Sultan Demak telah mengirimkan seribu pasukan untuk membantu Pangeran Samudera (raja Banjarmasih) untuk berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung penguasa Kerajaan Negara Daha terakhir. Kemenangan akhirnya diraih oleh Pangeran Samudera sebagai Sultan Banjarmasin ke-1, sedangkan Pangeran Tumenggung diijinkan menetap di daerah Alay dengan seribu penduduk. Selama peperangan tersebut tertangkap pula 40 orang Negara Daha baik laki-laki maupun perempuan, yang kemudian dibawa ke Demak dan Tadunan sebagai ganti 20 orang prajurit Demak yang gugur. Kejadian berlangsung sekitar tahun 1520-1526[36][37] Dewasa ini Suku Banjar di Jawa Tengah hanya berkisar 10.000 jiwa. Suku Banjar terutama bermukim di Kota Semarang dan Kota Surakarta.[38] Dahulu, suku Banjar kebanyakan bermukim di Kampung Banjar[39] dalam wilayah kelurahan Dadapsari. Kelurahan ini juga dikenal sebagai Kampung Melayu.[40]
Migrasi suku Banjar ke kota Semarang kira-kira pada akhir abad ke-19
dan bermukim di sebelah barat kali Semarang berdekatan dengan eks
kelurahan Mlayu Darat. Di wilayah ini suku Banjar membaur dengan etnis
lainnya seperti Arab-Indonesia, Gujarat, Melayu, Bugis dan suku Jawa setempat. Keunikan suku Banjar di kampung ini, mereka mendirikan rumah panggung (rumah ba-anjung)
yang sudah beradaptasi dengan lingkungan setempat, tetapi sayang
kebanyakan rumah tersebut sudah mulai tergusur karena kondisi yang sudah
tua maupun faktor alam (air pasang, rob) yang nyaris menenggelamkan
kawasan ini akibat banjir pasang air laut.[41]
Sedangkan di Surakarta, suku Banjar kebanyakan bermukim di Kelurahan Jayengan. Suku Banjar di Surakarta memiliki yayasan bernama Darussalam,
yang diambil dari nama Pesantren terkenal yang ada di kota Martapura.
Kebanyakan suku Banjar di Jawa Tengah merupakan generasi ke-5 dari
keturunan Martapura, Kabupaten Banjar. Tokoh suku Banjar di Jawa Tengah adalah (alm) Drs. Rivai Yusuf asal Martapura, yang pernah menjabat Bupati Pemalang dan Kepala Dinas Perlistrikan Jawa Tengah. Ia juga ketua Ikatan Keluarga Kalimantan ke-1, saat ini dijabat Bp. H Akwan dari Kalimantan Barat. Di samping itu ada pula Ikatan Keluarga Banjar di Semarang, yang diketuai H. Karim Bey Widaserana dari Barabai. [42]
Sulawesi
Di Makassar, etnis Banjar umumnya sebagai pedagangperhiasan, tukang
jahit, tukang emas, pedagang batu permata dan pembuat kopiah.[43] Diketahui, ada sebuah perkampungan suku Banjar di Kota Manado
yang mengisyaratkan bahwa ada Suku Banjar yang bermukim di Sulawesi
Utara. Selain itu, ada tokoh Banjar yang lahir di Manado seperti Muhammad Thoha Ma'ruf.
Pada tahun 1884, seorang pangeran Banjar bernama Perbatasari dibuang
ke Kampung Jawa Tondano karena memberontak kepada Belanda. Di sana, ia
menikah dengan seorang wanita Jaton (Jawa Tondano).
Beberapa tahun kemudian, saudaranya Gusti Amir juga menyusul ke sana
dan menikah dengan wanita Jaton. Orang Jaton keturunan para pangeran
asal Banjar ini menyandang fam Perbatasari dan Sataruno.[44]
Sumatera dan Malaysia
Suku Banjar di Malaysia, mayoritas keturunan Banjar Pahuluan. Selain
suku Banjar juga memasukan keturunan suku Kutai, suku Berau dan suku
Bakumpai (Dayak Ngaju muslim), yang biasa dikategorikan dalam Rumpun Banjar. Negara Malaysia dibentuk dari gabungan tiga entitas geopolitik: Malaya, Sarawak dan Sabah. Berdasarkan sensus 1911 penduduk Malaya Britania
(sekarang Malaysia Barat) yang merupakan suku Banjar berjumlah 21.227
jiwa, dengan komposisi 81% tinggal di Perak, 13.5% di Selangor dan 3.7%
di Johor sedangkan di negara bagian lain bilangannya kecil. Lebih 88%
suku Banjar di Perak tinggal di daerah Kerian, sementara kebanyakan suku Banjar di Selangor tinggal di Kuala Langat
(Tunku Shamsul Bahrin 1964: 150). Pada tahun 1921 suku Banjar meningkat
hampir 80% menjadi 37.484 jiwa. Peningkatan paling besar berlaku di
Johor, dari 782 jiwa pada tahun 1911 menjadi 8.365 jiwa pada tahun 1921.
Kebanyakan suku Banjar di Johor ditemui di Batu Pahat (5.711 jiwa) dan di Kukub (1.166 jiwa). Di Perak peningkatan jumlah suku Banjar terjadi di daerah Hilir Perak, sedangkan di Selangor terjadi di daerah Kuala Selangor
(Tunku Shamsul Bahrin 1964: 151). Antara tahun 1921 hingga 1931
penduduk suku Banjar telah bertambah 7.503 jiwa menjadi 45.351 jiwa.
Pada saat itu Perak, Johor dan Selangor masih merupakan tiga negeri
dengan penduduk suku Banjar terbanyak dimana tinggal 96% suku Banjar
yang ada di Malaya. Tetapi dalam periode itu terjadi sedikit perubahan
dalam taburan suku Banjar di Malaya. Jika sebelum itu, lebih 50% orang
Banjar tinggal di Perak, pada tahun 1931, bilangan orang Banjar di
negeri itu telah berkurang. Sebaliknya, bilangan orang Banjar di Johor
dan Selangor telah bertambah, karena sebagian orang Banjar di Perak
telah berpindah ke Johor dan Selangor yang mengalami pembangunan ekonomi
yang lebih pesat.[45]
Berdasarkan sensus tahun 1930, suku Banjar di Sumatera berjumlah
77.838 jiwa yang terdistribusi di Plantation belt (Pantai Timur Sumatera
Utara) 31.108 jiwa, di Sumatera bagian Tengah 46.063 jiwa dan di
Sumatera bagian Selatan 430 jiwa.[46] Belakangan, suku Banjar di Sumatera banyak yang berpindah ke Malaysia sebelum kemerdekaannya. Suku Banjar yang tinggal di Sumatera (Tembilahan, Tungkal, Hamparan Perak (Paluh Kurau), Pantai Cermin, Perbaungan) dan Malaysia merupakan anak, cucu, intah, piat dari para imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar.
Pertama, pada tahun 1780 terjadi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi emigran ketika itu adalah para pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam perang saudara antara sesama bangsawan Kesultanan Banjar, yakni Pangeran Tahmidullah. Mereka harus melarikan diri dari wilayah Kesultanan Banjar karena sebagai musuh politik, mereka sudah dijatuhi hukuman mati.
Kedua, pada tahun 1862 terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi imigrannya kali adalah para pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar.
Mereka harus melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di
kota Martapura karena posisi mereka terdesak sedemikian rupa. Pasukan Residen Belanda yang menjadi musuh mereka dalam Perang Banjar yang sudah menguasai kota-kota besar di wilayah Kerajaan Banjar.
Ketiga, pada tahun 1905 etnis Banjar kembali melakukan migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Kali ini mereka terpaksa melakukannya karena Sultan Muhammad Seman yang menjadi raja di Kerajaan Banjar ketika itu meninggal di tangan Belanda.
Migrasi suku Banjar ke Sumatera khususnya ke Tembilahan, Indragiri Hilir sekitar tahun 1885 di masa pemerintahan Sultan Isa (raja Indragiri sebelum raja yang terakhir). Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari daerah ini adalah Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjari (Tuan Guru Sapat/Datu Sapat) yang berasal dari Martapura dan menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri.
Sistem kekerabatan
Waring |
↑ |
Sanggah |
↑ |
Datu |
↑ |
Kai (kakek) + Nini (nenek) |
↑ |
Abah (ayah) + Uma (ibu) |
↑ |
Kakak < ULUN > Ading |
↓ |
Anak |
↓ |
Cucu |
↓ |
Buyut |
↓ |
Intah/Muning |
Seperti sistem kekerabatan umumnya, masyarakat Banjar mengenal
istilah-istilah tertentu sebagai panggilan dalam keluarga. Skema di
samping berpusat dari ULUN sebagai penyebutnya.
Bagi ULUN juga terdapat panggilan untuk saudara dari ayah atau ibu, saudara tertua disebut Julak, saudara kedua disebut Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha, saudara tengah dari ayah dan ibu disebut Angah, dan yang lainnya biasa disebut Pakacil (paman) dan Makacil (bibi), sedangkan termuda disebut Busu. Untuk memanggil saudara dari kai dan nini sama saja, begitu pula untuk saudara datu.
Disamping istilah di atas masih ada pula sebutan lainnya, yaitu:
· minantu (suami / isteri dari anak ULUN)
· pawarangan (ayah / ibu dari minantu)
· mintuha (ayah / ibu dari suami / isteri ULUN)
· mintuha lambung (saudara mintuha dari ULUN)
· sabungkut (orang yang satu Datu dengan ULUN)
· mamarina (sebutan umum untuk saudara ayah/ibu dari ULUN)
· kamanakan (anaknya kakak / adik dari ULUN)
· sapupu sakali (anak mamarina dari ULUN)
· maruai (isteri sama isteri bersaudara)
· ipar (saudara dari isteri / suami dari ULUN)
· panjulaknya (saudara tertua dari ULUN)
· pambusunya (saudara terkecil dari ULUN)
· badangsanak (saudara kandung)
· minantu (suami / isteri dari anak ULUN)
· pawarangan (ayah / ibu dari minantu)
· mintuha (ayah / ibu dari suami / isteri ULUN)
· mintuha lambung (saudara mintuha dari ULUN)
· sabungkut (orang yang satu Datu dengan ULUN)
· mamarina (sebutan umum untuk saudara ayah/ibu dari ULUN)
· kamanakan (anaknya kakak / adik dari ULUN)
· sapupu sakali (anak mamarina dari ULUN)
· maruai (isteri sama isteri bersaudara)
· ipar (saudara dari isteri / suami dari ULUN)
· panjulaknya (saudara tertua dari ULUN)
· pambusunya (saudara terkecil dari ULUN)
· badangsanak (saudara kandung)
Untuk memanggil orang yang seumur boleh dipanggil ikam, boleh juga menggunakan kata aku untuk menunjuk diri sendiri. Sedangkan untuk menghormati atau memanggil yang lebih tua digunakan kata pian, dan kata ulun untuk menunjuk diri sendiri.
Islam Banjar
Istilah Islam Banjar menunjuk kepada sebuah proses historis dari
fenomena inkulturisasi Islam di Tanah Banjar, yang secara
berkesinambungan tetap hidup di dan bersama masyarakat Banjar itu
sendiri (Tim Haeda, 2009:3). Dalam ungkapan lain, istilah Islam Banjar
setara dengan istilah-istilah berikut: Islam di Tanah Banjar, Islam
menurut pemahaman dan pengalaman masyarakat Banjar, Islam yang berperan
dalam masyarakat dan budaya Banjar, atau istilah-istilah lain yang
sejenis, tentunya dengan penekanan-penekanan tertentu yang bervariasi
antara istilah yang satu dengan lainnya.
Inti dari Islam Banjar adalah terdapatnya karakteristik khas yang
dimiliki agama Islam dalam proses sejarahnya di Tanah Banjar. Menurut
Alfani Daud (1997), ciri khas itu adalah terdapatnya kombinasi pada
level kepercayaan antara kepercayaan Islam, kepercayaan bubuhan, dan
kepercayaan lingkungan. Kombinasi itulah yang membentuk sistem
kepercayaan Islam Banjar. Menurut Tim Haeda (2009), di antara ketiga sub
kepercayaan itu, yang paling tua dan lebih asli dalam konteks Banjar
adalah kepercayaan lingkungan, karena unsur-unsurnya lebih merujuk pada
pola-pola agama pribumi pra-Hindu. Oleh karena itu, dibandingkan
kepercayaan bubuhan, kepercayaan lingkungan ini tampak lebih fleksibel
dan terbuka bagi upaya-upaya modifikasi ketika dihubungkan dengan
kepercayaan Islam.
Sejarah Islam Banjar dimulai seiring dengan sejarah pembentukan
entitas Banjar itu sendiri. Menurut kebanyakan peneliti, Islam telah
berkembang jauh sebelum berdirinya Kerajaan Banjar di Kuin Banjarmasin,
meskipun dalam kondisi yang relatif lambat lantaran belum menjadi
kekuatan sosial-politik. Kerajaan Banjar, dengan demikian, menjadi
tonggak sejarah pertama perkembangangan Islam di wilayah Selatan pulau
Kalimantan. Kehadiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjar lebih kurang tiga
abad kemudian merupakan babak baru dalam sejarah Islam Banjar yang
pengaruhnya masih sangat terasa sampai dewasa ini.
Bahasa
Bahasa Banjar merupakan bahasa ibu Suku Banjar. Bahasa ini berkembang sejak zaman Kerajaan Negara Dipa dan Daha yang bercorak Hindu-Buddha hingga datangnya agama Islam di Tanah Banjar. Banyak kosakata-kosakata bahasa ini sangat mirip dengan Bahasa Dayak, Bahasa Melayu, maupun Bahasa Jawa.
Kebudayaan
Keterampilan Mengolah Lahan Pasang Surut
Salah satu keahlian orang Banjar adalah mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan budi daya pertanian dan permukiman.[47] Kota Banjarmasin didirikan di atas lahan pasang surut.
Rumah Banjar
Rumah Banjar
adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional
ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada
atap, ornamental, dekoratif dan simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah
tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai
berkembang sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Dari sekian banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi merupakan jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas rumah adat suku Banjar.
Tradisi lisan
Tradisi lisan oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar (yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni madah (ﻤﺪﺡ)
yang artinya pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe
hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan
bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang
berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel. Sedangkan Lamut
adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan
nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari
negeri Cina dan mulanya menggunakan bahasa Tionghoa.[48] Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.[48]
Teater
Satu-satunya seni teater tradisional yang berkembang di pulau Kalimantan adalah Mamanda. Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong
dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton.
Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan
komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih
hidup.[49]
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda
yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda
tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana
Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan
kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).[49]
Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak
ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh
lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan
tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para
pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar
dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang
terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem
kekerabatan atau kekeluargaan.[49]
Musik
Salah satu kesenian berupa musik tradisional khas Suku Banjar adalah Musik Panting.
Musik ini disebut Panting karena didominasi oleh alat musik yang
dinamakan panting, sejenis gambus yang memakai senar (panting) maka
disebut musik panting. Pada awalnya musik panting berasal dari daerah
Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik
yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada
waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara
solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman dan musik panting akan
lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka
musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti
babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang.
Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada
musik panting yang terkenal alat musik nya dan yang sangat berperan
adalah panting, sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang
yang pertama kali memberi nama sebagai musik panting adalah A. SARBAINI.
Dan sampai sekarang ini musik panting terkenal sebagai musik
tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.[50]
Selain itu, ada sebuah kesenian musik tradisional Suku Banjar, yakni Musik Kentung. Musik ini berasal dari daerah Kabupaten Banjar yaitu di desa Sungai Alat, Astambul dan kampung Bincau, Martapura.
Pada masa sekarang, musik kentung ini sudah mulai langka. Masa dahulu
alat musik ini dipertandingkan. Dalam pertandingan ini bukan saja pada
bunyinya, tetapi juga hal-hal yang bersifat magis, seperti kalau dalam
pertandingan itu alat musik ini bisa pecah atau tidak dapat berbunyi
dari kepunyaan lawan bertanding.[51]
Tarian
Seni Tari Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang
dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang
dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama "Baksa"
yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak
dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang
lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah
disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya,
gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam
mengalami sedikit perubahan.
Kuliner
Masakan tradisional Banjar diantaranya: sate Banjar[52], soto Banjar, kue bingka dan lain-lain.
Senjata Tradisional
Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan orang yang pernah
memakainya, senjata tradisional suku banjar yang biasa digunakan dalam
kehidupan sehari-hari antara lain :
- 1. Serapang
Serapang adalah tombak bermata lima mata dimana empat mata mekar
seperti cakar elang dengan bait pengait di tiap ujungnya. Satu mata lagi
berada di tengah tanpa bait, yang disebut “besi lapar” yang di percaya
dapat merobohkan orang yang memiliki ilmu kebal sekuat apappun.
- 2. Tiruk
Tiruk adalah tombak panjang lurus tanpa bait digunakan untuk berburu ikan haruan (ikan gabus) dan toman di sungai.
- 3. Pangambangan
Pangambangan adalah tombak lurus bermata satu dengan bait di kedua sisinya.
- 4. Duha
Duha adalah pisau bermata dua yang sering digunakan untuk berburu babi.
Populasi
Pada sensus 1930, jumlah suku Banjar adalah 898.884 jiwa dimana 9,9%
dari jumlah tersebut tinggal diluar daerah asal (Kalimantan
Tenggara/Karesidenan Afdeling Selatan dan Timur Borneo).[53]
Suku Banjar merupakan suku ke-8 terbanyak di Indonesia Menurut sensus
BPS tahun 2000 populasi suku Banjar terdapat di seluruh propinsi
Indonesia kecuali di Sumatera Barat, diantaranya sebagai berikut:[54]
- 2.271.586 di Provinsi Kalimantan Selatan 76,34%
- 435.758 di Provinsi Kalimantan Tengah 24,20%
- 340.381 di Provinsi Kalimantan Timur 13,94%
- 179.380 di Provinsi Riau 3,78%
- 111.886 di Provinsi Sumatera Utara 0,97%
- 83.458 di Provinsi Jambi 3,47%
- 24.117 di Provinsi Kalimantan Barat
- 7.977 di Provinsi DKI Jakarta
- 5.923 di Provinsi Jawa Barat
- 1.726 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 0,1%
- 921 di Provinsi Sumatera Selatan
- dan lain-lain
Menurut situs "Joshua Project" jumlah suku Banjar adalah
Populasi Suku Banjar di Kalimantan Selatan
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi suku Banjar di Kalimantan Selatan berjumlah 2.271.586 jiwa, yang terdistribusi pada beberapa kabupaten dan kota, yaitu :
- 142.731 jiwa di kabupaten Tanah Laut
- 154.399 jiwa di kabupaten Kota Baru (termasuk kab. Tanah Bumbu)
- 361.692 jiwa di kabupaten Banjar
- 184.180 jiwa di kabupaten Barito Kuala
- 417.309 jiwa di kota Banjarmasin
- 75.537 jiwa di kota Banjarbaru
Orang Banjar Hulu Sungai yang bertutur Bahasa Banjar (Hulu) terdapat pada 6 kabupaten (Banua Enam) yaitu :
- 114.265 jiwa di kabupaten Tapin
- 188.672 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Selatan
- 213.725 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Tengah
- 277.729 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Utara (termasuk kab. Balangan)
- 141.347 jiwa di kabupaten Tabalong
Tokoh-tokoh Banjar
- Pangeran Antasari, Pahlawan Nasional Indonesia.
- Hasan Basry, Pahlawan Nasional Indonesia.
- Idham Chalid, Pahlawan Nasional Indonesia.
- Pangeran Hidayatullah, Pahlawan Perang Banjar.
- Pangeran Muhammad Noor, mantan menteri PU/Gubernur Kalimantan ke-1
- Prof. Gusti Muhammad Hatta, menteri Riset dan Teknologi.
- Drs. Saadillah Mursjid, MPA, mantan Menteri Sekretaris Kabinet Pembangunan VII
- Djohan Effendi, mantan Menteri Sekretaris Kabinet era Gus Dur, penulis pidato Presiden Soeharto.
- Syamsul Mu'arif, mantan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Kabinet Gotong Royong
- Taufiq Effendi, mantan menteri PAN
- Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, ulama Banjar.
- Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, ulama Banjar.
- Muhammad Zaini Abdul Ghani, ulama dan tokoh Islam Indonesia.
- K.H. Muhammad Arifin Ilham, Ketua Majelis Zikra.
- K.H. Muhammad Thoha Ma'ruf, Tokoh NU
- Fakhruddin, politisi dan mantan Bupati Hulu Sungai Utara
- Syeikh Husein Kedah Al Banjari, mantan mufti Kerajaan Kedah
- Dato Seri Harussani bin Haji Zakaria, mantan Mufti Kerajaan Negeri Perak
- Velix Wanggai