Senin, 28 Mei 2012

SUKU BANJAR DI BERBAGAI DAERAH

Suku Banjar di berbagai daerah

Peta penyebaran suku bangsa Banjar di berbagai daerah.

Kalimantan Timur

Suku Banjar di Kalimantan Timur (sering disebut juga suku Melayu), merupakan 15 % dari populasi penduduk. Suku Banjar terdapat seluruh kabupaten dan kota di Kaltim. Suku Banjar Kaltim lebih banyak populasinya dibandingkan suku Kutai, maupun suku Dayak setempat. Beberapa kecamatan yang terdapat banyak suku Banjarnya misalnya Kecamatan Kenohan dan Jempang, Samarinda Barat, Samarinda Timur (Samarinda), Balikpapan, Tarakan dan di muara sungai Kelay, Berau. Suku Banjar merupakan 4,5% dari populasi Kabupaten Kutai Barat.[31] Menurut sensus 1930, suku Banjar terdapat di Kota Balikpapan (31,56%), Kota Samarinda (54,93%), wilayah Kutai bagian Timur tidak termasuk Kota Samarinda (33,09%), Kota Tanjung Selor (35,70%).[30][19]
Migrasi suku Banjar (Batang Banyu) ke Kalimantan Timur terjadi tahun 1565, yaitu orang-orang Amuntai yang dipimpin Aria Manau (ayah Puteri Petung) dari Kerajaan Kuripan (versi lainnya dari Kerajaan Bagalong di Kelua, Tabalong) yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Sadurangas di daerah Paser, selanjutnya suku Banjar juga tersebar di daerah lainnya di Kalimantan Timur. Organisasi Suku Banjar di Kalimantan Timur adalah Kerukunan Bubuhan Banjar-Kalimantan Timur (KBB-KT).

Kalimantan Tengah

Suku Banjar di Kalimantan Tengah sering pula disebut Banjar-Melayu Pantai atau Banjar-Dayak, maksudnya suku Banjar yang terdapat di daerah Dayak Besar yaitu nama lama Kalimantan Tengah. Menurut sensus tahun 2000, Suku Banjar merupakan 24,20 % dari populasi penduduk dan sebagai suku terbanyak di Kalteng.[32] Tahun 2000 (sebelum pemekran daerah), suku Banjar terdapat di Kabupaten Kapuas (40,5%), Palangkaraya (27,64%), Kotawaringin Timur (20,3%), Kotawaringin Barat (16,02%), Barito Selatan (10,5%) dan Barito Utara (2,56%).
Komposisi etnis di Kalteng berdasarkan sensus tahun 2000 terdiri suku Banjar (24,20%), Jawa (18,06%), Ngaju (18,02%), Dayak Sampit (9,57%), Bakumpai (7,51%), Madura (3,46%), Katingan (3,34%), Maanyan (2,80%) dan tidak diketahui besar jumlah suku Melayu. Tetapi jika digabungkan suku Dayak (Ngaju, Sampit, Maanyan, Bakumpai) mencapai 37,90%. Menurut sensus tahun 1930 penduduk Central Borneo (Kalteng dan sebagian Kalbar) berjumlah 619.402 terdiri suku Dayak (63,49%), suku Melayu (26,64%), suku Banjar (5,95%), suku Jawa (2,51%), Bugis (1,09%) dan sisanya suku lainnya yang tidak disebutkan.[32][33]
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa suku Banjar yang ada sekarang di Kalimantan Tengah merupakan asimilasi suku Banjar dengan suku Melayu (Kotawaringin) yang menempati pesisir barat Kalimantan Tengah. Suku Banjar terutama menempati pesisir timur Kalimantan Tengah, misalnya menurut sensus 1930, penduduk Kota Kuala Kapuas 50,28% merupakan suku Banjar.[19] Prosentase suku Banjar dan Melayu mengalami penurunan yang disebabkan karena peningkatan prosentase suku lain seperti suku Jawa dan Madura melalui migrasi. [32] Pada tahun 1930, di Kalimantan Selatan juga terdapat 2.765 jiwa suku Melayu yaitu di Banjarmasin 1.512 jiwa dan kota Tanjung 1.253 jiwa. Suku Melayu tersebut diduga juga telah melebur ke dalam suku Banjar.
Perkampungan suku Banjar Kalteng terutama terdapat daerah kuala dari sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur dan sungai Seruyan di Kabupaten Seruyan, misalnya desa Tanjung Rangas dan Pematang Panjang.
Migrasi suku Banjar (Banjar Kuala) ke Kalimantan Tengah terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Banjar IV yaitu Raja Maruhum atau Sultan Musta'inbillah (1650-1672), yang telah mengizinkan berdirinya Kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang pertama Pangeran Dipati Anta-Kasuma.
Suku Banjar yang datang dari lembah sungai Negara (wilayah Batang Banyu) terutama orang Negara (urang Nagara) yang datang dari Kota Negara (bekas ibukota Kerajaan Negara Daha) telah cukup lama mendiami wilayah Kahayan Kuala, Pulang Pisau, yang kemudian disusul orang Kelua (Urang Kalua) dari Tabalong dan orang Hulu Sungai lainnya mendiami daerah yang telah dirintis oleh orang Negara. Puak-puak suku Banjar ini akhirnya melakukan perkawinan campur dengan suku Dayak Ngaju setempat dan mengembangkan agama Islam di daerah tersebut.
Sedangkan migrasi suku Banjar ke wilayah Barito, Kalimantan Tengah terutama pada masa perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda sekitar tahun 1860-an. Suku-suku Dayak di wilayah Barito mengangkat Pangeran Antasari (Gusti Inu Kartapati) sebagai raja dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin berkedudukan di Puruk Cahu (Murung Raya), setelah mangkat beliau perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Seman.

Jawa Tengah

Masjid Kampung Banjar Semarang
Kampung Banjar, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara
Menurut Serat Maha Parwa, penduduk Jawa berasal dari Hindustan dan Siam yang sebelumnya singgah di Nusa Kencana (Kalimantan).[34] Di daratan kota Rembang telah ditemukan bangkai perahu kuno terbuat dari kayu ulin diduga berasal dari Kalimantan Selatan.[35]Berdasarkan Hikayat Banjar (1663) dapat diketahui bahwa Sultan Demak telah mengirimkan seribu pasukan untuk membantu Pangeran Samudera (raja Banjarmasih) untuk berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung penguasa Kerajaan Negara Daha terakhir. Kemenangan akhirnya diraih oleh Pangeran Samudera sebagai Sultan Banjarmasin ke-1, sedangkan Pangeran Tumenggung diijinkan menetap di daerah Alay dengan seribu penduduk. Selama peperangan tersebut tertangkap pula 40 orang Negara Daha baik laki-laki maupun perempuan, yang kemudian dibawa ke Demak dan Tadunan sebagai ganti 20 orang prajurit Demak yang gugur. Kejadian berlangsung sekitar tahun 1520-1526[36][37] Dewasa ini Suku Banjar di Jawa Tengah hanya berkisar 10.000 jiwa. Suku Banjar terutama bermukim di Kota Semarang dan Kota Surakarta.[38] Dahulu, suku Banjar kebanyakan bermukim di Kampung Banjar[39] dalam wilayah kelurahan Dadapsari. Kelurahan ini juga dikenal sebagai Kampung Melayu.[40]
Migrasi suku Banjar ke kota Semarang kira-kira pada akhir abad ke-19 dan bermukim di sebelah barat kali Semarang berdekatan dengan eks kelurahan Mlayu Darat. Di wilayah ini suku Banjar membaur dengan etnis lainnya seperti Arab-Indonesia, Gujarat, Melayu, Bugis dan suku Jawa setempat. Keunikan suku Banjar di kampung ini, mereka mendirikan rumah panggung (rumah ba-anjung) yang sudah beradaptasi dengan lingkungan setempat, tetapi sayang kebanyakan rumah tersebut sudah mulai tergusur karena kondisi yang sudah tua maupun faktor alam (air pasang, rob) yang nyaris menenggelamkan kawasan ini akibat banjir pasang air laut.[41]
Sedangkan di Surakarta, suku Banjar kebanyakan bermukim di Kelurahan Jayengan. Suku Banjar di Surakarta memiliki yayasan bernama Darussalam, yang diambil dari nama Pesantren terkenal yang ada di kota Martapura. Kebanyakan suku Banjar di Jawa Tengah merupakan generasi ke-5 dari keturunan Martapura, Kabupaten Banjar. Tokoh suku Banjar di Jawa Tengah adalah (alm) Drs. Rivai Yusuf asal Martapura, yang pernah menjabat Bupati Pemalang dan Kepala Dinas Perlistrikan Jawa Tengah. Ia juga ketua Ikatan Keluarga Kalimantan ke-1, saat ini dijabat Bp. H Akwan dari Kalimantan Barat. Di samping itu ada pula Ikatan Keluarga Banjar di Semarang, yang diketuai H. Karim Bey Widaserana dari Barabai. [42]

Sulawesi

Di Makassar, etnis Banjar umumnya sebagai pedagangperhiasan, tukang jahit, tukang emas, pedagang batu permata dan pembuat kopiah.[43] Diketahui, ada sebuah perkampungan suku Banjar di Kota Manado yang mengisyaratkan bahwa ada Suku Banjar yang bermukim di Sulawesi Utara. Selain itu, ada tokoh Banjar yang lahir di Manado seperti Muhammad Thoha Ma'ruf.
Pada tahun 1884, seorang pangeran Banjar bernama Perbatasari dibuang ke Kampung Jawa Tondano karena memberontak kepada Belanda. Di sana, ia menikah dengan seorang wanita Jaton (Jawa Tondano). Beberapa tahun kemudian, saudaranya Gusti Amir juga menyusul ke sana dan menikah dengan wanita Jaton. Orang Jaton keturunan para pangeran asal Banjar ini menyandang fam Perbatasari dan Sataruno.[44]

Sumatera dan Malaysia

Suku Banjar di Malaysia, mayoritas keturunan Banjar Pahuluan. Selain suku Banjar juga memasukan keturunan suku Kutai, suku Berau dan suku Bakumpai (Dayak Ngaju muslim), yang biasa dikategorikan dalam Rumpun Banjar. Negara Malaysia dibentuk dari gabungan tiga entitas geopolitik: Malaya, Sarawak dan Sabah. Berdasarkan sensus 1911 penduduk Malaya Britania (sekarang Malaysia Barat) yang merupakan suku Banjar berjumlah 21.227 jiwa, dengan komposisi 81% tinggal di Perak, 13.5% di Selangor dan 3.7% di Johor sedangkan di negara bagian lain bilangannya kecil. Lebih 88% suku Banjar di Perak tinggal di daerah Kerian, sementara kebanyakan suku Banjar di Selangor tinggal di Kuala Langat (Tunku Shamsul Bahrin 1964: 150). Pada tahun 1921 suku Banjar meningkat hampir 80% menjadi 37.484 jiwa. Peningkatan paling besar berlaku di Johor, dari 782 jiwa pada tahun 1911 menjadi 8.365 jiwa pada tahun 1921. Kebanyakan suku Banjar di Johor ditemui di Batu Pahat (5.711 jiwa) dan di Kukub (1.166 jiwa). Di Perak peningkatan jumlah suku Banjar terjadi di daerah Hilir Perak, sedangkan di Selangor terjadi di daerah Kuala Selangor (Tunku Shamsul Bahrin 1964: 151). Antara tahun 1921 hingga 1931 penduduk suku Banjar telah bertambah 7.503 jiwa menjadi 45.351 jiwa. Pada saat itu Perak, Johor dan Selangor masih merupakan tiga negeri dengan penduduk suku Banjar terbanyak dimana tinggal 96% suku Banjar yang ada di Malaya. Tetapi dalam periode itu terjadi sedikit perubahan dalam taburan suku Banjar di Malaya. Jika sebelum itu, lebih 50% orang Banjar tinggal di Perak, pada tahun 1931, bilangan orang Banjar di negeri itu telah berkurang. Sebaliknya, bilangan orang Banjar di Johor dan Selangor telah bertambah, karena sebagian orang Banjar di Perak telah berpindah ke Johor dan Selangor yang mengalami pembangunan ekonomi yang lebih pesat.[45]
Berdasarkan sensus tahun 1930, suku Banjar di Sumatera berjumlah 77.838 jiwa yang terdistribusi di Plantation belt (Pantai Timur Sumatera Utara) 31.108 jiwa, di Sumatera bagian Tengah 46.063 jiwa dan di Sumatera bagian Selatan 430 jiwa.[46] Belakangan, suku Banjar di Sumatera banyak yang berpindah ke Malaysia sebelum kemerdekaannya. Suku Banjar yang tinggal di Sumatera (Tembilahan, Tungkal, Hamparan Perak (Paluh Kurau), Pantai Cermin, Perbaungan) dan Malaysia merupakan anak, cucu, intah, piat dari para imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar.
Pertama, pada tahun 1780 terjadi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi emigran ketika itu adalah para pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam perang saudara antara sesama bangsawan Kesultanan Banjar, yakni Pangeran Tahmidullah. Mereka harus melarikan diri dari wilayah Kesultanan Banjar karena sebagai musuh politik, mereka sudah dijatuhi hukuman mati.
Kedua, pada tahun 1862 terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi imigrannya kali adalah para pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar. Mereka harus melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di kota Martapura karena posisi mereka terdesak sedemikian rupa. Pasukan Residen Belanda yang menjadi musuh mereka dalam Perang Banjar yang sudah menguasai kota-kota besar di wilayah Kerajaan Banjar.
Ketiga, pada tahun 1905 etnis Banjar kembali melakukan migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Kali ini mereka terpaksa melakukannya karena Sultan Muhammad Seman yang menjadi raja di Kerajaan Banjar ketika itu meninggal di tangan Belanda.
Migrasi suku Banjar ke Sumatera khususnya ke Tembilahan, Indragiri Hilir sekitar tahun 1885 di masa pemerintahan Sultan Isa (raja Indragiri sebelum raja yang terakhir). Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari daerah ini adalah Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjari (Tuan Guru Sapat/Datu Sapat) yang berasal dari Martapura dan menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri.

Sistem kekerabatan

Waring
Sanggah
Datu
Kai (kakek) + Nini (nenek)
Abah (ayah) + Uma (ibu)
Kakak < ULUN > Ading
Anak
Cucu
Buyut
Intah/Muning
Seperti sistem kekerabatan umumnya, masyarakat Banjar mengenal istilah-istilah tertentu sebagai panggilan dalam keluarga. Skema di samping berpusat dari ULUN sebagai penyebutnya.
Bagi ULUN juga terdapat panggilan untuk saudara dari ayah atau ibu, saudara tertua disebut Julak, saudara kedua disebut Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha, saudara tengah dari ayah dan ibu disebut Angah, dan yang lainnya biasa disebut Pakacil (paman) dan Makacil (bibi), sedangkan termuda disebut Busu. Untuk memanggil saudara dari kai dan nini sama saja, begitu pula untuk saudara datu.
Disamping istilah di atas masih ada pula sebutan lainnya, yaitu:
 · minantu (suami / isteri dari anak ULUN)
 · pawarangan (ayah / ibu dari minantu)
 · mintuha (ayah / ibu dari suami / isteri ULUN)
 · mintuha lambung (saudara mintuha dari ULUN)
 · sabungkut (orang yang satu Datu dengan ULUN)
 · mamarina (sebutan umum untuk saudara ayah/ibu dari ULUN)
 · kamanakan (anaknya kakak / adik dari ULUN)
 · sapupu sakali (anak mamarina dari ULUN)
 · maruai (isteri sama isteri bersaudara)
 · ipar (saudara dari isteri / suami dari ULUN)
 · panjulaknya (saudara tertua dari ULUN)
 · pambusunya (saudara terkecil dari ULUN)
 · badangsanak (saudara kandung)
Untuk memanggil orang yang seumur boleh dipanggil ikam, boleh juga menggunakan kata aku untuk menunjuk diri sendiri. Sedangkan untuk menghormati atau memanggil yang lebih tua digunakan kata pian, dan kata ulun untuk menunjuk diri sendiri.

Islam Banjar

Istilah Islam Banjar menunjuk kepada sebuah proses historis dari fenomena inkulturisasi Islam di Tanah Banjar, yang secara berkesinambungan tetap hidup di dan bersama masyarakat Banjar itu sendiri (Tim Haeda, 2009:3). Dalam ungkapan lain, istilah Islam Banjar setara dengan istilah-istilah berikut: Islam di Tanah Banjar, Islam menurut pemahaman dan pengalaman masyarakat Banjar, Islam yang berperan dalam masyarakat dan budaya Banjar, atau istilah-istilah lain yang sejenis, tentunya dengan penekanan-penekanan tertentu yang bervariasi antara istilah yang satu dengan lainnya.
Inti dari Islam Banjar adalah terdapatnya karakteristik khas yang dimiliki agama Islam dalam proses sejarahnya di Tanah Banjar. Menurut Alfani Daud (1997), ciri khas itu adalah terdapatnya kombinasi pada level kepercayaan antara kepercayaan Islam, kepercayaan bubuhan, dan kepercayaan lingkungan. Kombinasi itulah yang membentuk sistem kepercayaan Islam Banjar. Menurut Tim Haeda (2009), di antara ketiga sub kepercayaan itu, yang paling tua dan lebih asli dalam konteks Banjar adalah kepercayaan lingkungan, karena unsur-unsurnya lebih merujuk pada pola-pola agama pribumi pra-Hindu. Oleh karena itu, dibandingkan kepercayaan bubuhan, kepercayaan lingkungan ini tampak lebih fleksibel dan terbuka bagi upaya-upaya modifikasi ketika dihubungkan dengan kepercayaan Islam.
Sejarah Islam Banjar dimulai seiring dengan sejarah pembentukan entitas Banjar itu sendiri. Menurut kebanyakan peneliti, Islam telah berkembang jauh sebelum berdirinya Kerajaan Banjar di Kuin Banjarmasin, meskipun dalam kondisi yang relatif lambat lantaran belum menjadi kekuatan sosial-politik. Kerajaan Banjar, dengan demikian, menjadi tonggak sejarah pertama perkembangangan Islam di wilayah Selatan pulau Kalimantan. Kehadiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjar lebih kurang tiga abad kemudian merupakan babak baru dalam sejarah Islam Banjar yang pengaruhnya masih sangat terasa sampai dewasa ini.

Bahasa

Bahasa Banjar merupakan bahasa ibu Suku Banjar. Bahasa ini berkembang sejak zaman Kerajaan Negara Dipa dan Daha yang bercorak Hindu-Buddha hingga datangnya agama Islam di Tanah Banjar. Banyak kosakata-kosakata bahasa ini sangat mirip dengan Bahasa Dayak, Bahasa Melayu, maupun Bahasa Jawa.

Kebudayaan

Keterampilan Mengolah Lahan Pasang Surut

Salah satu keahlian orang Banjar adalah mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan budi daya pertanian dan permukiman.[47] Kota Banjarmasin didirikan di atas lahan pasang surut.

Rumah Banjar

Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai berkembang sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Dari sekian banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi merupakan jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas rumah adat suku Banjar.

Tradisi lisan

Tradisi lisan oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar (yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni madah (ﻤﺪﺡ) yang artinya pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel. Sedangkan Lamut adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan mulanya menggunakan bahasa Tionghoa.[48] Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.[48]

Teater

Satu-satunya seni teater tradisional yang berkembang di pulau Kalimantan adalah Mamanda. Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup.[49]
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).[49]
Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.[49]

Musik

Salah satu kesenian berupa musik tradisional khas Suku Banjar adalah Musik Panting. Musik ini disebut Panting karena didominasi oleh alat musik yang dinamakan panting, sejenis gambus yang memakai senar (panting) maka disebut musik panting. Pada awalnya musik panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman dan musik panting akan lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada musik panting yang terkenal alat musik nya dan yang sangat berperan adalah panting, sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang yang pertama kali memberi nama sebagai musik panting adalah A. SARBAINI. Dan sampai sekarang ini musik panting terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.[50]
Selain itu, ada sebuah kesenian musik tradisional Suku Banjar, yakni Musik Kentung. Musik ini berasal dari daerah Kabupaten Banjar yaitu di desa Sungai Alat, Astambul dan kampung Bincau, Martapura. Pada masa sekarang, musik kentung ini sudah mulai langka. Masa dahulu alat musik ini dipertandingkan. Dalam pertandingan ini bukan saja pada bunyinya, tetapi juga hal-hal yang bersifat magis, seperti kalau dalam pertandingan itu alat musik ini bisa pecah atau tidak dapat berbunyi dari kepunyaan lawan bertanding.[51]

Tarian

Seni Tari Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama "Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan.

Kuliner

Masakan tradisional Banjar diantaranya: sate Banjar[52], soto Banjar, kue bingka dan lain-lain.

Senjata Tradisional

Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan orang yang pernah memakainya, senjata tradisional suku banjar yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari antara lain :
  • 1. Serapang
Serapang adalah tombak bermata lima mata dimana empat mata mekar seperti cakar elang dengan bait pengait di tiap ujungnya. Satu mata lagi berada di tengah tanpa bait, yang disebut “besi lapar” yang di percaya dapat merobohkan orang yang memiliki ilmu kebal sekuat apappun.
  • 2. Tiruk
Tiruk adalah tombak panjang lurus tanpa bait digunakan untuk berburu ikan haruan (ikan gabus) dan toman di sungai.
  • 3. Pangambangan
Pangambangan adalah tombak lurus bermata satu dengan bait di kedua sisinya.
  • 4. Duha
Duha adalah pisau bermata dua yang sering digunakan untuk berburu babi.

Populasi

Pada sensus 1930, jumlah suku Banjar adalah 898.884 jiwa dimana 9,9% dari jumlah tersebut tinggal diluar daerah asal (Kalimantan Tenggara/Karesidenan Afdeling Selatan dan Timur Borneo).[53] Suku Banjar merupakan suku ke-8 terbanyak di Indonesia Menurut sensus BPS tahun 2000 populasi suku Banjar terdapat di seluruh propinsi Indonesia kecuali di Sumatera Barat, diantaranya sebagai berikut:[54]
Menurut situs "Joshua Project" jumlah suku Banjar adalah

Populasi Suku Banjar di Kalimantan Selatan

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi suku Banjar di Kalimantan Selatan berjumlah 2.271.586 jiwa, yang terdistribusi pada beberapa kabupaten dan kota, yaitu :
Orang Banjar Hulu Sungai yang bertutur Bahasa Banjar (Hulu) terdapat pada 6 kabupaten (Banua Enam) yaitu :

Tokoh-tokoh Banjar

Lihat pula

1 komentar: